Kota Wonosobo di Jawa Tengah identik dengan makanan Mie Ongklok.
Makanan berbahan dasar mie dengan bumbu kental gurih-manis dan
dilengkapi dengan sate ayam ini sangat cocok untuk menghangatkan perut
di tengah udara dingin kota Wonosobo. Cukup gampang mendapatkan Mie
Ongklok karena penjualnya banyak tersebar di berbagai tempat di
Wonosobo.
Namun, ada juga makanan khas Wonosobo selain Mie
Ongklok. Makanan berbahan dasar tepung ketan dan parutan kelapa ini
dinamakan Sagon. Makanan berbentuk bulat dengan cekungan di tengahnya
ini diolah dengan cara dibakar di atas bara arang.
Berbeda
dengan Mie Ongklok yang banyak dijual di warung-warung pinggir jalan,
Sagon hanya bisa didapatkan di pasar induk Wonosobo. Lebih tepatnya, di
lantai dua pasar tradisional terbesar di Wonosobo. Di lokasi ini ada
lima orang penjual Sagon yang membuka lapaknya sejak pukul 09.00 WIB
sampai 16.00 WIB.
“Dulu, sebelum pasar Wonosobo terbakar, ada
belasan penjual Sagon. Mereka menempati satu deret los yang semuanya
diisi oleh para penjual Sagon. Nggak tahu kenapa sekarang jumlah penjual
Sagon di pasar ini menjadi berkurang,” kata Rosa, seorang penduduk
Wonosobo.
Pasar Induk Wonosobo pernah terbakar pada tahun 1996.
Para pedagang kemudian dipindah ke Alun-alun kota Wonosobo. Namun,
pasar darurat ini juga terbakar pada 1 Mei 2004. Pedagang kemudian
dipindah lagi ke sebuah lapangan, tak jauh dari Alun-alun. Pasar darurat
ini kembali terbakar, 9 Juli 2004. Para pedagang akhirnya bisa kembali
ke pasar induk tahun 2005 setelah pasar tersebut selesai direnovasi
menjadi dua lantai.
Salah
seorang pedagang Sagon kawakan yang masih bertahan dengan usahanya
adalah Bu Ning, 42 tahun. Sejak kecil ia sudah aktif membantu ibunya
berdagang Sagon di pasar Wonosobo sebelum akhirnya meneruskan usaha
orangtuanya itu. Keahlian meracik dan mendapatkan bahan baku terbaik
untuk membuat Sagon juga diwariskan oleh ibunya.
Bahan baku
Sagon adalah tepung ketan, parutan kelapa, gula pasir serta sedikit
vanili sebagai aroma. “Kelapa yang digunakan harus benar-benar pas. Jika
terlalu muda, hasilnya akan lembek. Kalau terlalu tua, nanti rasa
Sagon-nya kurang gurih,” jelas Bu Ning.
Dari lima orang penjual
Sagon di pasar induk Wonosobo, lapak Bu Ning terlihat paling sibuk.
Dalam sehari, ia bisa menghabiskan 30-40 kilogram tepung ketan. Ia
bahkan punya dua tenaga khusus untuk membakar Sagon. “Tadinya saya punya
tiga orang tenaga, namun yang satunya berhenti karena sudah menikah,”
katanya.
Manyaksikan Sagon-sagon dibakar di atas bara arang,
juga menjadi atraksi yang cukup menarik. Racikan Sagon mentah yang
terdiri atas tepung ketan, parutan kelapa, gula pasir dan vanili itu
ditempatkan dalam satu cetakan aluminium berbentuk bulat. Lalu, Sagon
dalam cetakan itu dibakar dengan bara arang dari dua sisi : bawah dan
atas. Tak sampai lima menit, Sagon panas beraroma harus itu sudah matang
dan siap disantap.
Menikmati Sagon hangat yang baru dituang
dari cetakannya di tengah suasana pasar tradisional, terasa lebih
nikmat. Apalagi ditemani segelas teh hangat. Perpaduan rasa gurih kelapa
dan kelembutan tepung ketan, terasa pas di lidah. Jika pengin disantap
di tempat, kita bahkan bisa memesan Sagon dibakar agak lebih lama
sehingga terlihat sedikit gosong. Harga satu buah Sagon berdiameter
sekitar 20 centimeter itu cukup murah, hanya Rp 1.200.
Sagon
buatan Bu Ning ini juga lumayan awet jika dibawa pulang. Meski tanpa
bahan pengawet, Sagon hasil ramuan Bu Ning ini bisa bertahan selama tiga
hari dalam suhu ruang. “Cuma, kalau sudah lebih dari satu hari Sagonnya
agak sedikit keras. Cara mengatasinya sebenarnya gampang. Cukup
dihangatkan sebentar di magic jar sebelum disantap,” kata Bu Ning.
Pagi itu, Bu Ning memang terlihat super sibuk. Jajaran Sagon di meja
yang telah selesai dibakar, langsung berpindah ke kardus-kardus
pembungkus. “Hari ini ada pesanan 350 buah Sagon untuk hajatan,” katanya
sumringah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar