Gunung Prahu adalah sebuah gunung yang terdapat di Dataran Tinggi Dieng tepat di perbatasan Kabupaten Kendal dengan Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Berada di koordinat 7°11′13″LU 109°55′22″BT.
Gunung itu merupakan salah satu puncak di Dataran Tinggi Dieng selain Gunung Sipandu, Gunung Pangamun-amun, dan Gunung Juranggrawah ini memiliki ketinggian 2.565 meter di atas paras laut.
Gunung ini memiliki kawasan hutan yang masih asri, indah dan terjaga. Di dalamnya terdapat berbagai tumbuhan seperti Kantong Semar, aneka tumbuhan paku dan satwa. Sedangkan di sisi Kabupaten Wonosobo, terdapat berbagai peninggalan masa lalu berupa candi
Gunung Pakuwaja
Lokasi Trekking di Dieng seperti Sunrise Sikunir atau Gunung Prau mungkin sudah tidak asing bagi wisatawan. Tapi tidak semua wisatawan yang pernah berkunjung ke Dieng akan Familiar dengan sebuah tempat yang tak kalah menarik yaitu Gunung Pakuwaja.
Terletak disebelah tenggara Desa Dataran Tinggi Dieng, dengan Jarak Tempuh sekitar 10 Km dari perkampungan Penduduk, Gunung Pakuwaja bisa dibilang masih alami, bersih dan jarang digunakan sebagai lokasi pendakian.
Medan perjalanan ke Gunung Pakuwaja tidak terlalu sulit, sepanjang perjalanan yang memutar mengitari perbukitan mata anda akan dimanjakan dengan pemandangan hijau diselingi batu-batu Andesit serta lanskap perkebunan penduduk mendominasi arah Pandang.
Lokasi ini juga cukup menarik dijadikan spot untuk melihat sunrise di Pagi hari. Dari puncak Pakuwaja, anda juga bisa melihat pemandangan gunung-gunung seperti Gunung Sindoro, Gunung Slamet, Merapi, Merbabu, Telomoyo, Sementara jika melihat ke arah utara tampak di Kejauhan lokasi Wisata Telaga warna.
Ada yang unik dari Puncak Pakuwaja ini, Yaitu sebuah Batu berbentuk Lancing menjulang vertikal yang diyakini masyarakat setempat sebagai sebuah Paku raksasa yang digunakan untuk memperkuat Pulau Jawa. itulah asal muasal nama Pakuwaja.
Batu ini diapit oleh dua bekas telaga yang kini sudah mengering. Dari kabar yang didengar turun temurun, air dari telaga ini mengalir turun ke Telaga Cebong yang berada tidak terlalu jauh.
Gunung Sikunir
Nama Gunung Sikunir mungkin belum sepopuler Gunung
Merapi di Yogyakarta atau Gunung Bromo di Tengger. Satu dari sekian
banyak gunung yang mengelilingi Dataran Tinggi Dieng ini memiliki
ketinggian 2350 meter dpl. Ada dua cara untuk mencapai puncak Sikunir
yang berjarak 8 km dari Dataran Tinggi Dieng. Pilihan pertama adalah
trekking dimana kita harus mulai pada jam 3 dini hari. Kondisi fisik dan
berbagai perlengkapan lain harus benar-benar dipersiapkan bila memilih
cara trekking ini. Pilihan kedua adalah naik motor, baik motor sewaan
ataupun menggunakan jasa ojek hingga ke desa Sembungan dan dilanjutkan
dengan mendaki sejauh 800 meter. Dengan berbagai pertimbangan terutama
alasan keselamatan, Kami memilih untuk naik ojek dan baru dilanjutkan
dengan mendaki ke puncak Sikunir.
Perjalanan dimulai jam setengah 5 pagi. Pilihan naik ojek ternyata tepat. Jalanan gelap gulita, tanpa ada satupun lampu jalan yang menerangi. Baru beberapa ratus meter, mendadak kabut turun menyelimuti. Jarak pandang yang hanya satu meter dan medan yang berkelok-kelok serta naik turun lengkap dengan lubang dan tanah becek di tengah jalan sungguh sangat berbahaya bila seseorang yang tidak hapal betul dengan medan sekitar mengendarai sepeda motor sendiri. Meskipun demikian, pada kesempatan lain jalur trekking mungkin layak juga untuk dicoba. Berjalan kaki sambil menghirup udara segar dan menikmati langit cerah bertabur ribuan bintang terdengar cukup menarik dan menantang.
Dari Desa Sembungan yang berada di ketinggian 2302 meter dpl, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki jalan setapak licin yang diapit jurang dan hutan. Udara terasa sangat dingin, bahkan lebih dingin dari winter di Orange County California. Sepanjang pengalaman kami, ketika harus melalui musim dingin di akhir tahun 2008 dan awal 2009, suhu udara di Orange County tidak pernah lebih dingin dari 4 derajat Celcius. Kecuali suhu di daerah pegunungan seperti Big Bear yang selalu diselimuti salju saat winter tentunya. Saat mendaki Sikunir, winter jacket dan sarung tangan terasa belum cukup untuk melindungi tubuh dari dinginnya angin yang menggigit. Ditambah lagi dengan jalan mendaki yang serasa tak kunjung sampai. Nafas mulai tersengal dan jantung serasa hendak berhenti berdetak.
Ketika sudah hampir putus asa, jalan tiba-tiba melandai. Wah, akhirnya berhasil juga sampai ke puncak. Pemandangan yang terhampar di depan sungguh sangat menakjubkan. Lembah yang masih gelap nun jauh di bawah sana nampak berkelap-kelip dengan lampu-lampu yang menyala di desa-desa kecil yang tersebar diantaranya. Gunung Sindoro berdiri kokoh di depan mata. Hamparan awan dan kabut di bawah kami memberikan kesan bahwa kami benar-benar berada di negeri di atas awan. Bentangan langit cerah dengan ribuan bintang semakin menambah keindahan suasana. Bila cuaca cerah, dari puncak Sikunir ini akan terlihat Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi dan Ungaran. Seorang teman bercanda dan mengatakan bahwa dia merasa seperti seorang dewa, berada di istananya yang tinggi menanti bangunnya sang mentari. Semburat jingga mulai terlihat di ufuk timur, menampilkan keindahan siluet Sindoro yang disusul dengan bayangan Gunung Merbabu, Sumbing, Ungaran, dan Merapi yang nampak mungil dengan kepulan asap tipisnya. Penat kaki akibat mendaki dan sakitnya dada yang tersengal-sengal langsung sirna...
Gunung Sumbing
Gunung Sumbing, termasuk gunung tinggi di Jawa terletak di antara wilayah Temanggung dan Wonosobo Jawa Tengah berdiri gagah berdampingan dengan gunung Sindoro di sebelahnya. Gunung bertype strato ini berketinggian 3.371 mdpl, sedangkan kondisi puncaknya terdiri atas batu tebing menjulang tinggi yang dikelilingi oleh kawah - kawah kecil menebarkan asap belerang. Puncak Gunung Sumbing terdiri atas dua puncak, Puncak Buntu, dengan ketinggian 3.362 mdpl dan puncak Kawah, dengan ketinggian 3.372 mdpl.
Lereng Gunung Sumbing merupakan salah satu kawasan yang rawan tanah longsor karena terlalu luas dieksploitasi lahannya untuk ladang tembakau dan sayur - sayuran. Lereng Gunung Sumbing mempunyai tingkat erosi yang paling tinggi diantara gunung - gunung yang berada di sekitarnya sehingga bila kita mendaki gunung ini sejauh mata memandang akan terlihat hampir separuh lereng gunung sudah merupakan daerah perladangan.
Untuk mencapai puncak Gunung Sumbing terdapat satu jalur utama yaitu lewat Kampung Butuh, Desa Garung, Wonosobo. Desa Garung merupakan desa yang terletak di kaki sebelah kanan Gunung Sumbing dan sebelah kiri lereng Gunung Sindoro.
Masyarakat desa ini sebagian besar bermata pencaharian dengan bertani. Jumlah penduduk desa Garung juga tidak terlalu banyak tapi kelihatan sangat makmur. Desa Garung merupakan desa terakhir menuju ke puncak Gunung Sumbing, dapat dengan mudah kita capai karena letaknya yang dilalui jalur Bus / minibus dari arah Magelang menuju ke Wonosobo atau sebaliknya.
Dari Magelang kita naik bus jurusan ke Wonosobo dan turun sebelum Kota Wonosobo sekitar 16 Km tepatnya di Gapura Desa Garung ( Pasar Reco ). Untuk mencapai jalan pendakian yang menuju ke puncak Gunung Sumbing dari Gapura Desa Garung kita menuju ke Kampung Butuh melalui jalan berbatu, sekitar 0,5 jam dengan jalan kaki atau naik ojek.
Setelah sampai di Kampung Butuh, kita melapor pada pak Zamroni, Kamituwo kampung ini untuk minta ijin pendakian ke Gunung Sumbing. Di rumahnya ini kita bisa bermalam untuk melanjutkan pendakian esok hari atau istirahat sebentar dan melanjutkan pendakian pada malam hari. Untuk kebutuhan air sebaiknya dipersiapkan dikampung ini, karena selama perjalanan kepuncak tidak ada mata air dan kalau kita memerlukan pemandu gunung ( porter ) kita bisa mendapatkan di desa ini.
Dari Kampung Butuh ini terdapat dua jalur pendakian yaitu Jalur Baru dan Jalur Lama. Jalur Baru di buka karena jalur lama sudah terkena erosi yang menyebabkan jalur agak sulit untuk dilalui. Panjang jalur dari Desa Garung sampai ke puncak Gunung Sumbing lewat jalur lama, 7 Km dan Jalur Baru, sepanjang 0,5 Km.
JALUR PENDAKIAN LAMA
Dari Kampung Butuh, perjalanan kita lanjutkan menuju perbatasan antara hutan dengan ladang jaraknya sekitar 4,5 Km dari kampung Butuh, maka kita akan sampai di Boswisen. Di Boswisen ini terdapat sungai kecil, bila musim hujan terdapat air dan bisa kita pergunakan untuk keperluan memasak dan minum.
Setelah sampai di Boswisen perjalanan kita teruskan menuju pertigaan yang dinamakan Bukit Genus, sekitar 2 jam melalui tanjakan - tanjakan yang cukup melelahkan. Setelah sampai di Bukit Genus kita bisa beristirahat sebentar sambil menikmati pemandangan karena lokasinya yang cukup datar.
Lalu perjalanan kita teruskan lagi melewati banyak tanjakan terjal menuju Pestan atau Pasar Setan , selama 2 jam perjalanan. Kawasan Pestan banyak di tumbuhi rerumputan, dan seringkali terjadi badai yang menerpa wilayah ini sehingga mengakibatkan bahaya saat melakukan pendakian.
Dari Pestan jalan semakin curam dan agak sulit di lalui sepanjang 0,5 Km, kita akan menemui batu besar, yang dapat dipergunakan sebagai tempat berlindung dari hembusan angin yang keras, tempat ini dinamakan Batu Kotak. Dari Batu Kotak perjalanan kita teruskan menuju di kawasan Tanah Putih, sekitar 1 jam perjalanan lalu kita dapat langsung menuju ke puncak. Dari Batu Kotak untuk mencapai puncak Gunung Sumbing membutuhkan waktu 2 - 3 jam lagi perjalanan pendakian.
JALUR PENDAKIAN BARU
Bila kita ingin melewati jalur baru dari Kampung Butuh kita menuju ke kawasan Boswisen sebelah barat yang membutuhkan waktu 2 jam perjalanan, melewati jalan berbatu dan menanjak. Boswisen merupakan batas ladang dan hutan pinus milik PERHUTANI dan terdapat pondok yang merupakan Pos I. Pos ini bisa dipergunakan untuk bermalam bila kita tidak bermalam di desa dan pagi harinya kita meneruskan perjalanan.
Dari Pos I Perjalanan kita lanjutkan menuju ke pos II yang dinamakan Pos Gatakan, sekitar 3 Km. Dari pos II perjalanan kita lanjutkan sampai menemui pertigaan, yang merupakan pertemuan jalur lama dan jalur baru, sekitar 1 - 1,5 jam.
Seterusnya perjalanan kita teruskan melewati jalur lama menuju ke puncak. Puncak Gunung Sumbing berbentuk kaldera kecil yang bergaris tengah 800 meter, dengan kedalaman 50 - 100 meter dan beberapa puncak yang runcing dan sulit untuk dicapai. Dari Desa Garung ke puncak membutuhkan waktu 7 - 8 jam perjalanan, sedang turunnya membutuhkan waktu 5 jam.
Perjalanan dimulai jam setengah 5 pagi. Pilihan naik ojek ternyata tepat. Jalanan gelap gulita, tanpa ada satupun lampu jalan yang menerangi. Baru beberapa ratus meter, mendadak kabut turun menyelimuti. Jarak pandang yang hanya satu meter dan medan yang berkelok-kelok serta naik turun lengkap dengan lubang dan tanah becek di tengah jalan sungguh sangat berbahaya bila seseorang yang tidak hapal betul dengan medan sekitar mengendarai sepeda motor sendiri. Meskipun demikian, pada kesempatan lain jalur trekking mungkin layak juga untuk dicoba. Berjalan kaki sambil menghirup udara segar dan menikmati langit cerah bertabur ribuan bintang terdengar cukup menarik dan menantang.
Dari Desa Sembungan yang berada di ketinggian 2302 meter dpl, perjalanan dilanjutkan dengan mendaki jalan setapak licin yang diapit jurang dan hutan. Udara terasa sangat dingin, bahkan lebih dingin dari winter di Orange County California. Sepanjang pengalaman kami, ketika harus melalui musim dingin di akhir tahun 2008 dan awal 2009, suhu udara di Orange County tidak pernah lebih dingin dari 4 derajat Celcius. Kecuali suhu di daerah pegunungan seperti Big Bear yang selalu diselimuti salju saat winter tentunya. Saat mendaki Sikunir, winter jacket dan sarung tangan terasa belum cukup untuk melindungi tubuh dari dinginnya angin yang menggigit. Ditambah lagi dengan jalan mendaki yang serasa tak kunjung sampai. Nafas mulai tersengal dan jantung serasa hendak berhenti berdetak.
Ketika sudah hampir putus asa, jalan tiba-tiba melandai. Wah, akhirnya berhasil juga sampai ke puncak. Pemandangan yang terhampar di depan sungguh sangat menakjubkan. Lembah yang masih gelap nun jauh di bawah sana nampak berkelap-kelip dengan lampu-lampu yang menyala di desa-desa kecil yang tersebar diantaranya. Gunung Sindoro berdiri kokoh di depan mata. Hamparan awan dan kabut di bawah kami memberikan kesan bahwa kami benar-benar berada di negeri di atas awan. Bentangan langit cerah dengan ribuan bintang semakin menambah keindahan suasana. Bila cuaca cerah, dari puncak Sikunir ini akan terlihat Gunung Sindoro, Sumbing, Merbabu, Merapi dan Ungaran. Seorang teman bercanda dan mengatakan bahwa dia merasa seperti seorang dewa, berada di istananya yang tinggi menanti bangunnya sang mentari. Semburat jingga mulai terlihat di ufuk timur, menampilkan keindahan siluet Sindoro yang disusul dengan bayangan Gunung Merbabu, Sumbing, Ungaran, dan Merapi yang nampak mungil dengan kepulan asap tipisnya. Penat kaki akibat mendaki dan sakitnya dada yang tersengal-sengal langsung sirna...
Gunung Sumbing
Gunung Sumbing, termasuk gunung tinggi di Jawa terletak di antara wilayah Temanggung dan Wonosobo Jawa Tengah berdiri gagah berdampingan dengan gunung Sindoro di sebelahnya. Gunung bertype strato ini berketinggian 3.371 mdpl, sedangkan kondisi puncaknya terdiri atas batu tebing menjulang tinggi yang dikelilingi oleh kawah - kawah kecil menebarkan asap belerang. Puncak Gunung Sumbing terdiri atas dua puncak, Puncak Buntu, dengan ketinggian 3.362 mdpl dan puncak Kawah, dengan ketinggian 3.372 mdpl.
Lereng Gunung Sumbing merupakan salah satu kawasan yang rawan tanah longsor karena terlalu luas dieksploitasi lahannya untuk ladang tembakau dan sayur - sayuran. Lereng Gunung Sumbing mempunyai tingkat erosi yang paling tinggi diantara gunung - gunung yang berada di sekitarnya sehingga bila kita mendaki gunung ini sejauh mata memandang akan terlihat hampir separuh lereng gunung sudah merupakan daerah perladangan.
Untuk mencapai puncak Gunung Sumbing terdapat satu jalur utama yaitu lewat Kampung Butuh, Desa Garung, Wonosobo. Desa Garung merupakan desa yang terletak di kaki sebelah kanan Gunung Sumbing dan sebelah kiri lereng Gunung Sindoro.
Masyarakat desa ini sebagian besar bermata pencaharian dengan bertani. Jumlah penduduk desa Garung juga tidak terlalu banyak tapi kelihatan sangat makmur. Desa Garung merupakan desa terakhir menuju ke puncak Gunung Sumbing, dapat dengan mudah kita capai karena letaknya yang dilalui jalur Bus / minibus dari arah Magelang menuju ke Wonosobo atau sebaliknya.
Dari Magelang kita naik bus jurusan ke Wonosobo dan turun sebelum Kota Wonosobo sekitar 16 Km tepatnya di Gapura Desa Garung ( Pasar Reco ). Untuk mencapai jalan pendakian yang menuju ke puncak Gunung Sumbing dari Gapura Desa Garung kita menuju ke Kampung Butuh melalui jalan berbatu, sekitar 0,5 jam dengan jalan kaki atau naik ojek.
Setelah sampai di Kampung Butuh, kita melapor pada pak Zamroni, Kamituwo kampung ini untuk minta ijin pendakian ke Gunung Sumbing. Di rumahnya ini kita bisa bermalam untuk melanjutkan pendakian esok hari atau istirahat sebentar dan melanjutkan pendakian pada malam hari. Untuk kebutuhan air sebaiknya dipersiapkan dikampung ini, karena selama perjalanan kepuncak tidak ada mata air dan kalau kita memerlukan pemandu gunung ( porter ) kita bisa mendapatkan di desa ini.
Dari Kampung Butuh ini terdapat dua jalur pendakian yaitu Jalur Baru dan Jalur Lama. Jalur Baru di buka karena jalur lama sudah terkena erosi yang menyebabkan jalur agak sulit untuk dilalui. Panjang jalur dari Desa Garung sampai ke puncak Gunung Sumbing lewat jalur lama, 7 Km dan Jalur Baru, sepanjang 0,5 Km.
JALUR PENDAKIAN LAMA
Dari Kampung Butuh, perjalanan kita lanjutkan menuju perbatasan antara hutan dengan ladang jaraknya sekitar 4,5 Km dari kampung Butuh, maka kita akan sampai di Boswisen. Di Boswisen ini terdapat sungai kecil, bila musim hujan terdapat air dan bisa kita pergunakan untuk keperluan memasak dan minum.
Setelah sampai di Boswisen perjalanan kita teruskan menuju pertigaan yang dinamakan Bukit Genus, sekitar 2 jam melalui tanjakan - tanjakan yang cukup melelahkan. Setelah sampai di Bukit Genus kita bisa beristirahat sebentar sambil menikmati pemandangan karena lokasinya yang cukup datar.
Lalu perjalanan kita teruskan lagi melewati banyak tanjakan terjal menuju Pestan atau Pasar Setan , selama 2 jam perjalanan. Kawasan Pestan banyak di tumbuhi rerumputan, dan seringkali terjadi badai yang menerpa wilayah ini sehingga mengakibatkan bahaya saat melakukan pendakian.
Dari Pestan jalan semakin curam dan agak sulit di lalui sepanjang 0,5 Km, kita akan menemui batu besar, yang dapat dipergunakan sebagai tempat berlindung dari hembusan angin yang keras, tempat ini dinamakan Batu Kotak. Dari Batu Kotak perjalanan kita teruskan menuju di kawasan Tanah Putih, sekitar 1 jam perjalanan lalu kita dapat langsung menuju ke puncak. Dari Batu Kotak untuk mencapai puncak Gunung Sumbing membutuhkan waktu 2 - 3 jam lagi perjalanan pendakian.
JALUR PENDAKIAN BARU
Bila kita ingin melewati jalur baru dari Kampung Butuh kita menuju ke kawasan Boswisen sebelah barat yang membutuhkan waktu 2 jam perjalanan, melewati jalan berbatu dan menanjak. Boswisen merupakan batas ladang dan hutan pinus milik PERHUTANI dan terdapat pondok yang merupakan Pos I. Pos ini bisa dipergunakan untuk bermalam bila kita tidak bermalam di desa dan pagi harinya kita meneruskan perjalanan.
Dari Pos I Perjalanan kita lanjutkan menuju ke pos II yang dinamakan Pos Gatakan, sekitar 3 Km. Dari pos II perjalanan kita lanjutkan sampai menemui pertigaan, yang merupakan pertemuan jalur lama dan jalur baru, sekitar 1 - 1,5 jam.
Seterusnya perjalanan kita teruskan melewati jalur lama menuju ke puncak. Puncak Gunung Sumbing berbentuk kaldera kecil yang bergaris tengah 800 meter, dengan kedalaman 50 - 100 meter dan beberapa puncak yang runcing dan sulit untuk dicapai. Dari Desa Garung ke puncak membutuhkan waktu 7 - 8 jam perjalanan, sedang turunnya membutuhkan waktu 5 jam.
Gunung Sindoro
Perjalanan diawali dengan menuju basecamp Kledung yang terletak di
desa Kledung, Wonosobo. Kami bertiga berangkat dari Yogyakarta
menggunakan sepeda motor. Jarak tempuh dengan laju yang santai sekitar
dua jam dengan jalur Yogyakarta-Magelang-Wonosobo. Jika menggunakan bus,
maka naiklah bus jurusan Wonosobo, dan turun di daerah Kledung,
tepatnya disebelah restoran Dieng Pass. Basecamp gunung Sindoro masih
sangat rendah karena sangat dekat dengan jalan besar. Basecamp ini juga
menjadi markas dari tim SAR yang bernama GRASINDO. Disini sudah ada
tempat istirahat, toilet, tempat ibadah, penjualan souvenir, dan
makanan. Sebaiknya sebelum mendaki Sindoro, sediakan perbekalan air yang
lebih, karena gunung Sindoro miskin akan mata air. Hampir tidak ada
sumber air di atas gunung ini. Lebih baik bawa perbekalan makanan segar
dari bawah seperti nasi bungkus yang memang sudah disediakan oleh
basecamp untuk menghemat air.
Dari basecamp, kami masih harus menempuh ladang-ladang tembakau
penduduk sekitar satu jam sebelum masuk hutan. Terdapat tukang ojek yang
bisa mengantarkan kita dari basecamp sampai pintu masuk hutan (watu
gede) dengan tarif Rp. 15.000, sebenarnya lumayan menghemat tenaga. Saya
sarankan untuk naik ojek saja, karena jalur ladang ini lumayan
mengesalkan walaupun jalannya datar namun cukup jauh.
Dari Watu Gede kami berjalan memasuki hutan-hutan yang lumayan gelap
karena waktu itu kami memulai pendakian pada pukul setengah lima sore.
Trek dari Watu Gede sampai ke pos 1 Sibajing tidaklah sulit. Jalannya
landai, hanya saja sempit. Di pos 1 kami istirahat sejenak untuk
melepaskan dahaga. Setelah segar kembali, kami melanjutkan perjalanan
menuju pos 2. Langit sudah gelap, dan matahari sudah terbenam. Jalur
yang kami ambil adalah yang sebelah kanan, karena jika lurus merupakan
jalan buntu. Jalurnya sedikit menanjak, namun masih tergolong relatif
mudah. Dari sini kami harus mendaki melewati dua buah bukit. pada bukit
yang berikutnya kami melewati jembatan kayu yang terdiri dari tiga kayu
yang dijejerkan. Jembatan ini bisa menjadi patokan kami. Suasananya
semakin gelap karena jalurnya dikelilingi oleh pohon-pohon lamtoro dan
pinus. sekitar jam 8 kami sampai di pos 2, kami beristirahat sejenak.
Pos 2 ini berketinggian 2.120 mdpl, sedangkan pos 1 hanya 1900 mdpl.
Dari pos 2, kami berjalan kembali menuju pos 3 Seroto. Jalur yang
kami lewati lumayan menanjak, perpaduan kerikil dan pasir membuat
tanahnya berdebu, sehingga kami harus menggunakan slayer kami sebagai
penutup hidung dari debu. Kami berhenti sejenak pada sebuah batu yang
cukup besar. Katanya batu besar ini dulunya merupakan bekas candi,
karena bentuknya juga lumayan simetris. Dari batu ini kami naik lagi,
hutan mulai terbuka dan angin malam mulai menerpa kami. berhenti sejenak
saja, dingin langsung menjalar ke sekujur tubuh. Semakin keatas semakin
terbuka, nah saat berada di tempat datar yang cukup luas, disitulah pos
3 Seroto berada. Tempat tersebut dapat menampung belasan tenda. Disini
kami bertemu dua orang dari semarang yang sudah mendaki lebih dulu.
mereka sedang mendirikan tenda sederhana atau bivak. Kami disini
beristirahat cukup lama, memasak dan ngopi-ngopi dulu bersama dua teman
baru ini. Pemandangannya bagus. Karena cuaca saat itu cerah, maka Gunung
Sumbing terlihat sangat mempesona walau dikegelapan malam. berjalan ke
arah jurang, kita dapat melihat lamu-lampu kota wonosobo
berkerlap-kerlip. Kami kembali
melanjutkan perjalanan lebih keatas lagi. Jalur dari pos 3 ke atas sudah
mulai sulit didaki karena lumayan curam, berbatu, berkerikil, serta
berdebu. Setelah memanjat sekitar satu jam, kami memutuskan untuk
mendirikan tenda di tempat datar sebelah kiri kami. Sebenarnya lokasinya
tidak terlalu jauh dari pos 3, hanya saja treknya lumayan terjal
sehhingga membutuhkan waktu mendaki yang agak lama. Tenda didirkan, kayu
bakar dikumpulkan, dan api unggun dinyalakan. Nikmatnya ngopi sambil
ngobrol ngalor-ngidul sembari memandang gunung Sumbing. Pukul
dua belas malam kami terlelap. Subuh-subuh alarm berbunyi, kami bangun,
kemas-kemas, dan ngopi dulu, tidak lupa foto-foto sunrise dulu.
Jalan semakin
terjal namun lumayan teduh karena dikelilingi oleh pohon lamtoro dan
tanaman-tanaman perdu. namun hanya sebentar. Setelah itu hutan kembali
terbuka, jalannya lebih curam dan sulit. Batu-batu besar mulai
bermunculan disekeliling rumput-rumput hijau dan semak-semak belukar.
Pohon-pohon lamtoro tampak berdiri jarang-jarang, sesekali hanya satu
batang pohon saja. Pemandangan ini sungguh eksotis, bayangkan padang
rumput, dengan batu-batu besar dan pohon kurus tinggi yang berdiri
sendiri, sungguh beautiful! sayangnya jalannya menanjak.
Puncak-puncak bayangan mulai terlihat, dimana saat kita melihat keatas,
tampak ujung dari tanjakan yang setelah kita naiki ternyata masih ada
tanjakan lainnya. Dari puncak bayangan satu ke yang lainnya jalurnya
sungguh terjal. Lumayan menguras tenaga. Disinilah air sangat
dibutuhkan.
Pada saat kami benar-benar ngos-ngosan,
kami menjumpai tanah datar yang ternyata telah berdiri tenda darurat
(sangat darurat) disitu. Kami beristirahat disitu sambil bertanya-tanya
apakah ada orang di dalam tenda tersebut. Tenda tersebut (kalau saya
bilang sih bukan tenda) hanya dibuat dengan memanfaatkan mantel
kelelawar, kayu sebagai tiang, dan matras sebagai alasnya. Mungkin
karena mendengar suara berisik diluar, penghuni tenda tersebut keluar
dan akhirnya kami saling menyapa. Dia mendaki sendirian saja, dari
Bekasi, perbekalannya sangat minim, tidak membawa jaket, dan hanya
bercelana pendek, edaaaan!. Setelah bercerita, ternyata tadinya
mas-mas ini yang berama Didi berencana trekking tanpa ngecamp untuk
naik ke puncak, namun apa daya, jalurnya begitu terjal, sehingga mas-mas
ini harus berhenti karena kelelahan yang luar biasa. Hari ini dia
berencana untuk turun saja karena sudah tidak kuat, namun setelah kami
bujuk akhirnya dia mau melanjutkan perjalanannya kembali.
Perjalanan kami
lanjutkan setelah sebelumnya ketambahan satu personel. Ditengah jalan
tiba-tiba mas Didi muntah-muntah, mungkin akibat semalam tidur didalam
tenda darurat tanpa jaket dan bekal yang minim sehingga dia masuk angin.
Kami istirahat sebentar sambil mengobati Didi. Setelah lumayan baikan,
kami naik lagi. jalurnya sungguh sangat berat, terjal dan terbuka,
sehingga panas matahari begitu mengganggu perjalan kami. bunga-bunga
edelweis berada disekeliling kami, memandangi kami dengan rasa iba.
Pemandangannya di padang edelweiss ini cukup indah. Jika menengok
kebelakang kita dapat melihat gumpalan-gumpalan awan dan sosok raksasa
gunung Sumbing.
Setelah melewati
hutan edelweis, kami masih harus naik lagi, terdapat pohon-pohon yang
lumayan tinggi, sehingga dapat dijadikan tempat berteduh. karena saya
capek, saya berhenti agak lama sambil menikmati pemandangan alam bersama
Didi, sementara dua orang teman saya berangkat duluan. Saat kami berdua
tengah beristirahat, dua orang dari semarang yang ngecamp di pos 3
datang dengan enteng dan ringannya, sambil menyapa, mereka mendahului
kami. Cepat benar mereka, memang kalau tubuhnya kurus dan langsing ,
mendaki jadi lebih gampang ya? tidak seperti saya yang lumayan kepayahan
karena timbunan lemak ditubuh lumayan banyak (tapi tidak gendut lho! :p
).
Pendakian menuju puncak akhirnya berhasil setelah nafas ngos-ngosan
setengah mati. Puncak tidak lebar, hanya memanjang mengeliling kawah
yang lumayan dalam. Kita bisa turun kedalam kawah yang cukup lebar
sambil menikmati aroma belerang yang keluar dari asap didalam kawah.
kawah ini pada musim hujan akan terendam oleh air sehingga membentuk
danau kawah yang dapat kita minum airnya, namun sayang kami mendaki pada
musim kemarau, sehingga tidak berkesempatan melihat danau kawah
tersebut.Terik matahari sangat menyengat, panasnya ngga nahan! Dipuncak kami masak-masak dulu , puas-puasin foto-foto, puas-puasin menikmati pemandangan yang luar biasa indah, dan puas-puasin
perjuangan kami yang lumayan berat ini. Dari puncak, jika kita
menghadap ke arah selatan maka akan tampak gunung Sumbing yang kelihatan
megah, sedikit kearah timur maka akan tampak gunung merbabu dan merapi
di kejauhan. Sungguh menakjubkan! Puncak gunung selalu menampilkan
pemandangan dan kepuasan batin tersendiri bagi para pendakinya. Kami
turun gunung sekitar pukul dua siang. Hati-hati saat turun karena
jalannya merupakan campuran kerikil, debu, dan pasir sehingga jika kita
lengah, bisa-bisa kita tergelincir. (idiotraveler, Abeng Sagara, 2012)
Gunung
Sindoro - 3.136 m.dpl, setidaknya ada tiga nama yang dikenal baik oleh
masyarakat, Sindoro, Sundoro atau Sendoro. Adalah termasuk dalam jajaran
gunung berapi yang mempunyai bentuk kerucut dengan tipe Strato. Dari
kejauhan nampak seperti dua saudara kembar antara Sundoro dan Sumbing,
berdiri kokoh di batas Kabupaten Temanggung sebelah barat dan sebelah
timur kota Wonosobo. Diantara keduanya, dipisahkan oleh pelana Kledung
(1.405 m.dpl) yang melintasi jalan raya, menghubungkan Wonosobo dengan
kota Magelang.
Koordinat letak geografis gunung Sindoro ada pada 7° 18′LS dan 109°
59.5′ BT dan memiliki areal Kawasan Hutan cukup luas yang di kelola oleh
PERHUTANI Wonosobo (772 m.dpl) dan Temanggung. Jika berada di
puncaknya, kita dapat melihat pemandangan disekitarnya, bagian lereng
gunung ditanami hamparan kebun teh yang mengelilinginya, menjadikan
lereng sindoro terlihat hijau sepanjang tahun dan biasa disebut green belt.Di
bagian timur dari puncak datar seluas 400 x 300 m terdapat kawah kembar
besar berukuran 210 x 150 m, sedangkan dataran Segero Wedi, Banjaran,
di bagian barat dan utara, adalah sisa dari kawah utama dan sekunder.
Kerucut dan kawah parasit ditemukan di lereng barat daya dan timur laut
dan di kaki tenggara. Beberapa ratus bukit di kaki timur laut menurut
Taverne dan van Bemmelen merupakan sisa erosi dari suatu longsoran tanah
sebelum tanah sebelum sejarah atau dari lahar.
Sumber : http://wisata.kompasiana.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar