Selasa, 14 Januari 2014

Nikmatnya Sagon Hangat di Pasar Wonosobo

Kota Wonosobo di Jawa Tengah identik dengan makanan Mie Ongklok. Makanan berbahan dasar mie dengan bumbu kental gurih-manis dan dilengkapi dengan sate ayam ini sangat cocok untuk menghangatkan perut di tengah udara dingin kota Wonosobo. Cukup gampang mendapatkan Mie Ongklok karena penjualnya banyak tersebar di berbagai tempat di Wonosobo.

Namun, ada juga makanan khas Wonosobo selain Mie Ongklok. Makanan berbahan dasar tepung ketan dan parutan kelapa ini dinamakan Sagon. Makanan berbentuk bulat dengan cekungan di tengahnya ini diolah dengan cara dibakar di atas bara arang.

Berbeda dengan Mie Ongklok yang banyak dijual di warung-warung pinggir jalan, Sagon hanya bisa didapatkan di pasar induk Wonosobo. Lebih tepatnya, di lantai dua pasar tradisional terbesar di Wonosobo. Di lokasi ini ada lima orang penjual Sagon yang membuka lapaknya sejak pukul 09.00 WIB sampai 16.00 WIB.

“Dulu, sebelum pasar Wonosobo terbakar, ada belasan penjual Sagon. Mereka menempati satu deret los yang semuanya diisi oleh para penjual Sagon. Nggak tahu kenapa sekarang jumlah penjual Sagon di pasar ini menjadi berkurang,” kata Rosa, seorang penduduk Wonosobo.

Pasar Induk Wonosobo pernah terbakar pada tahun 1996. Para pedagang kemudian dipindah ke Alun-alun kota Wonosobo. Namun, pasar darurat ini juga terbakar pada 1 Mei 2004. Pedagang kemudian dipindah lagi ke sebuah lapangan, tak jauh dari Alun-alun. Pasar darurat ini kembali terbakar, 9 Juli 2004. Para pedagang akhirnya bisa kembali ke pasar induk tahun 2005 setelah pasar tersebut selesai direnovasi menjadi dua lantai.

Salah seorang pedagang Sagon kawakan yang masih bertahan dengan usahanya adalah Bu Ning, 42 tahun. Sejak kecil ia sudah aktif membantu ibunya berdagang Sagon di pasar Wonosobo sebelum akhirnya meneruskan usaha orangtuanya itu. Keahlian meracik dan mendapatkan bahan baku terbaik untuk membuat Sagon juga diwariskan oleh ibunya.

Bahan baku Sagon adalah tepung ketan, parutan kelapa, gula pasir serta sedikit vanili sebagai aroma. “Kelapa yang digunakan harus benar-benar pas. Jika terlalu muda, hasilnya akan lembek. Kalau terlalu tua, nanti rasa Sagon-nya kurang gurih,” jelas Bu Ning.

Dari lima orang penjual Sagon di pasar induk Wonosobo, lapak Bu Ning terlihat paling sibuk. Dalam sehari, ia bisa menghabiskan 30-40 kilogram tepung ketan. Ia bahkan punya dua tenaga khusus untuk membakar Sagon. “Tadinya saya punya tiga orang tenaga, namun yang satunya berhenti karena sudah menikah,” katanya.

Manyaksikan Sagon-sagon dibakar di atas bara arang, juga menjadi atraksi yang cukup menarik. Racikan Sagon mentah yang terdiri atas tepung ketan, parutan kelapa, gula pasir dan vanili itu ditempatkan dalam satu cetakan aluminium berbentuk bulat. Lalu, Sagon dalam cetakan itu dibakar dengan bara arang dari dua sisi : bawah dan atas. Tak sampai lima menit, Sagon panas beraroma harus itu sudah matang dan siap disantap.

Menikmati Sagon hangat yang baru dituang dari cetakannya di tengah suasana pasar tradisional, terasa lebih nikmat. Apalagi ditemani segelas teh hangat. Perpaduan rasa gurih kelapa dan kelembutan tepung ketan, terasa pas di lidah. Jika pengin disantap di tempat, kita bahkan bisa memesan Sagon dibakar agak lebih lama sehingga terlihat sedikit gosong. Harga satu buah Sagon berdiameter sekitar 20 centimeter itu cukup murah, hanya Rp 1.200.

Sagon buatan Bu Ning ini juga lumayan awet jika dibawa pulang. Meski tanpa bahan pengawet, Sagon hasil ramuan Bu Ning ini bisa bertahan selama tiga hari dalam suhu ruang. “Cuma, kalau sudah lebih dari satu hari Sagonnya agak sedikit keras. Cara mengatasinya sebenarnya gampang. Cukup dihangatkan sebentar di magic jar sebelum disantap,” kata Bu Ning.

Pagi itu, Bu Ning memang terlihat super sibuk. Jajaran Sagon di meja yang telah selesai dibakar, langsung berpindah ke kardus-kardus pembungkus. “Hari ini ada pesanan 350 buah Sagon untuk hajatan,” katanya sumringah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar